Assalamu'alaikum,wr,wb.
Ini adalah postingan psikologi saya yang kedua. Kali ini saya akan membahas tentang motivasi. Saya mulai tulisan saya ini dengan sebuah contoh kasus.
Fatimah dan Grace baru lulus dari SMA
dan berniat untuk mengikuti SBNPTN karena keduanya gagal di SNMPTN Undangan.
Mereka memilih program studi Teknologi Informasi (TI) di sebuah universitas.
Bedanya, Fatimah memilih TI pada pilihan pertama karena TI memang program studi
impiannya, dengan alasan Fatimah tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan
komputer. Sedangkan Grace memilih TI pada pilihan kedua, yang dipilihnya secara
asal-asalan, dimana pilihan pertamanya adalah Pendidikan Dokter, karena dia
hanya ingin menjadi dokter dan tak memikirkan yang lain. Alhasil, setelah
pengumuman tiba, keduanya lulus di TI.
Apa reaksi mereka saat mengetahui kabar
kelulusan mereka? Fatimah akan merasa senang dan bahagia karena keinginannya
untuk masuk TI tercapai. Bagaimana dengan Grace? Dia mungkin akan merasa kecewa
karena tidak bisa meraih apa yang diinginkannya. Di sisi lain, bisa jadi dia
akan merasa lega karena sudah diterima di universitas dan tidak perlu
memikirkan ujian masuk lain atau masuk lewat jalur mandiri jika dia tidak lulus
SBNPTN.
Sekarang, mari kita perhatikan Grace.
Jika Grace tidak puas dengan apa yang telah diraihnya saat ini (lulus di TI)
dan tetap bersikeras untuk lulus di Pendidikan Dokter, dia mungkin akan mencoba
jalur masuk yang lain, seperti UMB atau Jalur Mandiri. Sebelum Grace
melakukannya, dia berpikir ulang. Bagaimana jika dia juga tidak lulus di UMB?
Apakah kedua orang tuanya akan setuju jika dia menempuh Jalur Mandiri yang
biayanya selangit?
Di sini terlihat bahwa Grace tengah
menghadapi konflik approach-avoidance.
Dia berada pada dua pilihan yang menguntungkannya namun memiliki sisi yang tak
menguntungkan; tetap memperjuangkan impiannya dengan resiko tidak lulus UMB
atau menghadapi biaya Jalur Mandiri yang sangat mahal, atau menerima
kelulusannya di TI dengan tidak sepenuh hati.
Sampai di sini, anggap saja Grace menerima
kelulusannya di TI. Ia dan Fatimah telah menjadi mahasiswi TI. Meskipun telah
menjadi mahasiswi TI, dia tetap menyimpan impian untuk menjadi seorang dokter. Bagaimana
dengan kuliahnya di TI? Bisa jadi dia mampu mengikuti perkuliahan dengan baik,
atau mungkin dia tidak mengerti sama sekali.
Sedangkan Fatimah menjalani perkuliahannya
dengan hati riang. Sesulit apapun materi kuliah di TI, dia tetap belajar dengan
tekun dan berusaha untuk memahami. Minatnya pada komputer telah memotivasinya
untuk belajar, mencari tahu lebih banyak tentang komputer dan teknologi
informasi. Inilah yang disebut dengan motivasi
intrinsik.
Cerita tentang Fatimah dan Grace saya sudahi
sampai di sini. Sekarang saya ajukan pertanyaan kepada pembaca yang khususnya
mahasiswa: apakah Anda memilih program studi yang sedang Anda tempuh saat ini
berdasarkan keinginan sendiri, atau orang lain, atau hanya asal pilih?
Bagi Anda yang sudah terlanjur kuliah di
program studi yang tidak Anda inginkan seperti Grace, Anda jangan langsung
ogah-ogahan kuliah. Saya tahu, rasanya sangat berat menjalani sesuatu yang
tidak sesuai dengan kehendak hati kita. Cobalah pikirkan hal lain yang dapat
memotivasi Anda selain kehendak hati. Pikirkanlah kedua orang tua Anda yang
telah membiayai Anda kuliah, yang meletakkan harapan mereka di atas pundak
Anda. Seperti itu. Jadikan kedua orang tua Anda sebagai motivasi eksentrik Anda.
Selain itu, carilah sesuatu yang menarik
dari apa yang Anda kerjakan. Hal tersebut dapat membangun motivasi dalam diri
untuk mengerjakan sesuatu. Lebih lanjut lagi, hal yang menarik itu dapat Anda
kaitkan dengan impian besar Anda, sehingga Anda merasa lebih dekat dengan
impian Anda itu, atau bahkan dapat mewujudkan impian Anda! Misalnya, Grace
ternyata cukup tertarik dengan desain web, maka dia membuat blog/website yang
dia desain sendiri yang berkaitan dengan kedokteran.
Apapun hal yang Anda kerjakan saat ini,
buatlah suatu motivasi yang akan membuat Anda fokus dengan pekerjaan tersebut.
Kita hidup memiliki tujuan, memiliki pencapaian. Tujuan dan pencapaian itu yang
akan membuat kita semakin hidup. Hidup tanpa tujuan dan pencapaian, yang
mengalir mengikuti arus, adalah hidupnya orang-orang malas dan putus asa.
Saya sudahi tulisan saya ini. Saya mohon maaf bila Anda menemukan kesalahan dalam tulisan saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar